Saturday, November 24, 2012

Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher

Jakarta, 5 Maret 1985 

Salam, 

Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat 
K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. 
Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi 
menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum 
manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa 
ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang 
sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral 
dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu 
kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, 
penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang 
Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan 
meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and 
forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya 
hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang 
tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan 
Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini 
Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu 
prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi 
kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah 
menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang 
dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap 
seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang 
tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu 
pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo 
kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih 
menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine. 

Masalah pokok pada waktu itu sederhana saja: perbenturan antara dua 
pendapat; revolusi sudah atau belum selesai. Yang lain-lain adalah 
masalah ikutan daripadanya. Saya sendiri berpendapat, memang belum 
selesai. Buktinya belum pernah muncul sejarah revolusi Indonesia. 
Karena memang belum ada distansi dengannya. Belum merupakan kebulatan 
yang selesai. Maka para sejarawan takut. Malah kata revolusi nasional 
cenderung dinamai dan dibatasi sebagai perang kemerdekaan. 

Pertentangan manikebu dan pihak kami dulu tidak lain cuma soal 
polemik. Memang keras, tapi tak sampai membunuh, kan? Kan itu memang 
satu jalan untuk mendapatkan kebenaran umum, yang bisa diterima oleh 
umum? Bahwa pada waktu itu terjadi teror yang dilakukan oleh 
orang-orang Lekra sebagaimana dituduhkan sekarang, betul- betul saya 
belum bisa diyakinkan. Beb Vuyk dalam koran Belanda menuduh: teror 
telah dilakukan orang-orang Lekra terhadap beberapa orang, antaranya 
Bernard IJzerdraad. Waktu ia datang ke Indonesia dan menemuinya 
sendiri, IJzerdraad menjawab tidak pernah diteror. Dan Beb Vuyk tidak 
pernah mengkoreksi tulisannya. Beb Vuyk sendiri meninggalkan Indonesia 
setelah kegagalan pemberontakan PRRI-Permesta, kemudian minta 
kewarganegaraan Belanda. Mungkin ia merasa begitu pentingnya bagi 
Indonesia sehingga dalam usianya yang sudah lanjut merasa 
berkepentingan untuk mendirikan kebohongan terutama untuk menyudutkan 
saya. pada hal dalam polemik-polemik tsb. saya hanya menggunakan hak 
saya sebagai warganegara merdeka untuk menyatakan pendapat. Dan saya 
sadari hak saya. Seperti sering kali saya katakan: kewarganegaraan 
saya peroleh dengan pergulatan bukan hadiah gratis. 

Dan apa sesungguhnya kudeta gagal G-30S/PKI itu? Saya sendiri tidak 
tahu. Sekitar tanggal 24 bulan lalu saya menerima fotokopi dari 
seorang wartawan politik Eropa dari Journal of Contemporary Asia, 
tanpa nomor dan tanpa tahun, berjudul: "Who's Plot--New Light on the 
1965 Events," karangan W.F. Wertheim. Itulah untuk pertama kali saya 
baca uraian dari orang yang tak berpihak. Juga itu informasi pertama 
setelah 20 tahun belakangan ini. Rupa-rupanya karena ketidaktahuan 
saya itu saya harus dirampas dari segala-galanya selama 14 tahun 2 
bulan + hampir 6 tahun tahanan kota (tanpa pernyataan legal), tanpa 
pernah melihat dewan hakim yang mendengarkan pembelaan saya. Memang 
sangat mahal harga kewarganegaraan yang harus saya bayar. Maka juga 
kewarganegaraan saya saya pergunakan semaksimal mungkin. Itu pun masih 
ada saja orang yang tidak rela. Juga surat pada Bung ini saya tulis 
dengan menjunjung tinggi harga kewarganegaraan saya. 

Sekarang akan saya tanggapi tulisan A.K.M. Ia tidak ada di Indonesia 
waktu meletus peristiwa 1965 itu. Tetapi saya sendiri mengalami. Saya 
akan ceritakan sejauh saya alami sendiri, untuk tidak membuat terlalu 
banyak kesalahan. 

Pada 1 Oktober 1965 pagihari saya dengar dari radio adanya gerakan 
Untung. Kemudian berita tentang susunan nama Dewan Revolusi. Sebelum 
itu pengumuman naik pangkat para prajurit yang ikut dalam gerakan 
Untung dan penurunan pangkat bagi mereka yang jadi perwira di atas 
letkol. Sudah pada waktu itu saya terheran-heran, kok belum-belum 
sudah mengurusi pangkat? Ini gerakan apa, oleh siapa? Saya lebih 
banyak di rumah daripada tidak. Kerja rutine ke luar rumah adalah 
dalam rangka menyiapkan Lentera dan mengajar pada Res Publika. Dan 
sangat kadang-kadang ke pabrik pensil di mana saya "diangkat" jadi 
"penasihat." Jadi di rumah itu saja saya "ketahui" beberapa hal yang 
terjadi dari suara-suara luar yang datang. Mula-mula datang Abdullah 
S.P., itu penantang Hamka, waktu itu baru saja bekerja di sebuah surat 
kabar Islam yang baru diterbitkan, dan yang sekarang saya lupa 
namanya. Ia mengatakan merasa tidak aman dan hendak mengungsi ke 
tempatku. Saya keberatan, karena memang tidak tahu situasi yang 
sesungguhnya. Seorang pegawai tatausaha Universitas Res Publika datang 
ke rumah menyerahkan honor, dan mengatakan Universitas ditutup karena 
keadaan tidak aman. Ia menyerahkan honor lipat dari biasanya. Beberapa 
hari kemudian datang pegawai dari pabrik pensil, juga menyerahkan 
honor, juga lipat dari biasanya, karena pabrik terpaksa ditutup, 
keadaan gawat. Kemudian datang seorang teman yang memberitakan, rumah 
Aidit dibakar, demikian juga beberapa rumah lain. Ia juga memberitakan 
tentang cara massa bergerak. Mereka menyerang rumahtangga orang, 
kemudian datang para petugas berseragam yang tidak melindungi malah 
menangkap yang diserang. "Saya yakin Bung akan diperlakukan begitu 
juga," katanya. Soalnya apa dengan saya? tanyaku. "Kesalahan bung, 
karena bung tokoh." Itu saja? Tempatku di sini, kataku akhirnya. 

Seorang penjahit, yang pernah dibisiki larangan menjahitkan pakaian 
saya oleh tetangga anggota PNI-- penjahit itu juga 
tetangga--menawarkan tempat aman pada saya nun di Brebes (kalau saya 
tidak salah ingat). Saya ucapkan terimakasih. Mengherankan betapa 
orang lain dapat melihat, keamananku dalam ancaman. Seorang teman lain 
datang dan menganjurkan agar saya lari. Mengapa lari? tanya saya. Apa 
yang saya harus larikan? Diri saya? dan mengapa? 

Kemudian datang seorang pengarang termuda yang saya kenal. Biasanya ia 
langsung masuk ke belakang dan membuka sendiri lemari makan. Ia tidak 
mengulangi kebiasaannya. Tingkahnya menimbulkan kecurigaan. Saya masih 
ingat kata- kata yang saya ucapkan kepadanya: saya seorang diri dari 
dulu, kalau pengeroyok memang hendak datangi saya akan saya hadapi 
seorang diri; tempat saya di sini. 

Keadaan makin lama makin gawat. Isteri saya baru dua bulan melahirkan. 
adalah tepat bila ia dan anak-anak untuk sementara menginap di rumah 
mertua. Papan nama saya, dari batu marmer, bertahun-tahun hanya 
tergeletak, sengaja saya pasang di tembok depan dengan lebih dahulu 
memahat tembok. Sebagai pernyataan: saya di sini, jangan nyasar ke 
alamat yang salah. 

Di tempat lain isteri kedua mertua saya mengadakan selamatan untuk 
keselamatan saya. Sementara itu saya tetap tinggal di rumah menyiapkan 
ensiklopedi sastra Indonesia. Dalam keadaan lelah saya saya beralih 
mempelajari Hadits Bukori. di malam hari semua lampu saya padamkan dan 
saya duduk seorang diri di beranda. Teman saya hanya seorang, adik 
saya yang pulang ke Indonesia untuk menyiapkan disertasinya, Koesalah 
Soebagyo Toer. 

Kemudian datang tanggal 13 Oktober 1965 jam 23.00. Tahu-tahu rumah 
saya sudah dikepung. Lampu pagar dari 200 watt--waktu tegangan hanya 
110, namun dapat dianggap terlalu mewah untuk kehidupan kampung--saya 
nyalakan. Di depan pintu saya lihat orang lari menghindari cahaya. 
Mukanya bertopeng. Tangannya membawa pikar. Malam-malam, dengan topeng 
pula, langsung terpikir oleh saya, barang itu tentu habis dirampoknya 
dari rumah yang habis diserbu. Saya tahu itu pikiran jahat. apa boleh 
buat karena suara- suara gencar memberitakan ke rumah, pihak militer 
mengangkuti anak-anak sekolah ke atas truk dan disuruh 
berteriak-teriak menentang Soekarno. Saya tidak pernah melihat 
sendiri. Saya percaya, karena pelda (atau peltu?) yang tinggal di 
depan rumah saya, sudah dua malam berturut- turut bicara keras di gang 
depan rumah, bahwa militer punya politik sendiri, Soekarno sudah tidak 
ada artinya. Konon ia bekas KNIL. Malah pada malam kedua ia buka mulut 
keras-keras sambil mondar-mandir, dan saya merasa itu ditujukan pada 
saya, rokok kretek saya cabut dari bibir dan saya lemparkan padanya. 
Terdengar ia melompat sambil memekik. Jadi kalau saya punya pikiran 
jahat seperti itu bukan tidak pada tempatnya. Nah, setiap lampu pagar 
saya matikan, muncul gerombolan di depan pintu. Bila saya nyalakan 
lagi mereka lari. Jelas mereka muka-muka yang saya telah kenal. Tak 
lama kemudian batu-batu kali tetangga samping, yang dipersiapkan untuk 
membangun rumah, berlayangan ke rumah saya. Itu tidak mungkin 
dilemparkan oleh tenaga satu orang. Paling tidak dua orang dengan 
jalan membandulnya dengan sarung atau dengan lainnya. Kalau anak-anak 
saya masih di rumah, terutama bayi 2 bulan itu, saya tak dapat 
bayangkan apa yang bakal terjadi. Batu besar berjatuhan di dalam rumah 
menerobosi genteng dan langit-langit. Jadi benar-benar orang 
menghendaki kematian saya. Saya ambil tongkat pengepel dari kayu 
keras, juga mempersenjatai diri dengan samurai kecil (pemberian 
Joebaar Ajoeb sekembalinya dari Jepang). Ini hari terakhir saya, di 
sini, di tempat saya. Saya tahu, takkan mungkin dapat melawan satu 
gerombolan, tapi saya toh harus membela diri? Jalan kedua untuk 
bertahan adalah memberi gerombolan itu sesuatu yang mereka ingat 
seumur hidup: kata-kata yang lebih ampuh dari senjata. 

Dengan suara cukup keras saya memekik: Ini yang kalian namai berjuang? 
Kalau hanya berjuang aku pun berjuang sejak muda. Tapi bukan begini 
caranya. Datang ke sini pemimpin kalian! Berjuang macam apa begini ini? 

Ingar-bingar terhenti. Juga lemparan batu. Tiba-tiba sebongkah besar 
batu kali menyambar paha saya dan melesat mengenai pintu depan yang 
sekaligus hancur. Lemparan batu menjadi hebat kembali. Lampu pagar 
sengaja dihancurkan dengan lemparan juga. 

Saya dengar suara: Mana minyaknya. Sini, bakar saja. Tetapi saya 
dengar juga suara orang tua tetangga sebelah kiri saya, seorang dukun 
cinta: jangan, jangan dibakar, nanti rumah saya ikut terbakar. Tak 
lama kemudian terdengar suara lagi: jangan lewat di tanah saya. Waktu 
saya lihat ke dalam rumah adik saya sudah tidak ada. Rupanya ia 
meloloskan diri dari pintu pagar belakang dan langsung memasuki tanah 
sang dukun cinta. 

Dan betul saja kata teman itu: kemudian datang orang- orang 
berseragam. Metode kerja yang kelak akan terus- menerus dapat dilihat. 
Mereka terdiri dari polisi dan militer. Saya belum lagi sempat 
menggunakan tongkat dan samurai saya, mereka belum lagi memasuki 
pekarangan rumah saya. 

Komandan militer operasi dan gerombolannya saya bukakan pintu. Mereka 
masuk dan langsung menyalahkan saya: sia- sia melawan rakyat. Kontan 
saya jawab: Gerombolan, bukan rakyat. 

Setelah mereka memeriksa seluruh rumah ia bilang lagi: Siapkan, pak 
mari kami amankan, segera pergi dari sini. Saya berteriak memanggil 
adik saya. Dia muncul, entah dari mana. Dijanjikan akan diamankan, 
saya siapkan naskah saya Gadis Pantai untuk diselesaikan dan mesin 
tulis. Pada seorang polisi dalam team itu saya bertanya: kenal saya? 
Kenal, pak. Tolong selamatkan semua kertas dan perpustakaan saya. di 
situ adalah perkerjaan Bung Karno (waktu itu saya belum sampai selesai 
menghimpun cerpen-cerpen Bung Karno, dan korespondensi 
Soekarno-Sartono-Thamrin masih belum memadai untuk diterbitkan). Dia 
berjanji untuk menyelamatkan. 

Mereka giring kami berdua melalui gang. Gerombolan itu berjalan 
mengepung di samping dan belakang. Ada yang membawa tombak, keris, 
golok, belati. Benar, alat negara itu tidak menangkap gerombolan 
penyerbu, malah menangkap yang diserbu. Dan sebanyak itu dikerahkan 
untuk menumpas satu-dua orang. Hebat benar membikin momentum qua 
perjuangan. Sampai di sebuah lapangan gang jurusan belakang rumah, 
sebelum dinaikkan ke atas Nissan mereka ikat tanganku ke belakang dan 
menyangkutkan ke leher, sehingga rontaan pada tangan akan menjerat 
leher. Tali mati. Bukan simpul mati yang diajarkan di kepanduan. Tali 
mati. Macam ikatan yang dipergunakan untuk tangkapan yang akan dibunuh 
semasa revolusi dulu. Tentu saja saya menyesal akan mati dalam keadaan 
seperti ini. Lebih indah bila dengan bertarung di atas tanah tempat 
saya tinggal. Melewati jembatan depan rumahsakit umum pusat Koptu 
Sulaiman menghantamkan gagang besi stennya pada mataku. Cepat saya 
palingkan kepala dan besi segitiga itu tak berhasil mencopot bola mata 
tetapi meretakkan tulang pipi. Saya memahami kemarahannya, bukan 
padaku sebenarnya, tapi pada atasannya, karena tak boleh ikut memasuki 
rumah saya. Mereka bawa kami ke Kostrad, kalau saya tidak keliru. Yang 
sedang piket adalah seorang Letkol. Kami diturunkan di situ, dan pada 
perwira itu saya minta agar kertas dokumentasi dan perpustakaan 
diselamatkan. Kalau Pemerintah memang menghendaki agar diambil, tapi 
jangan dirusak. Ia menyanggupi. Dari situ kami dibawa memasuki sebuah 
kompleks perumahan yang saya tak tahu kompleks apa. Dari jendela 
nampak puncak emas Monas. Kemudian saya dapat mengenali rumah itu; 
hanya masuknya tidak berkelok- kelok melalui kompleks, tetapi langsung 
dari jalan raya, karena pada 1955 di ruang yang sama saya pernah 
menemui Erwin Baharuddin, bekas sesama tahanan Belanda di penjara 
Bukitduri. 

Piket mengambil semua yang saya bawa di tangan, naskah dan mesin 
tulis, juga samurai yang tersisipkan dalam kaos kaki. Waktu ia tinggal 
seorang diri rolex saya dikembalikan, berpesan supaya jangan 
kelihatan, sembunyikan baik-baik. kami dipersilakan ke sebuah ruangan 
tempat di mana sudah menggeloyor di lantai beberapa orang. Seorang 
adalah Daryono dari suatu SB (entah SB apa) dan seorang perjaka 
jangkung tetangga sendiri. Piket yang mengembalikan jamtangan itu 
memasuki ruangan tempat kami tergolek di lantai. Di sebuah papantulis 
besar tertulis dengan kapur: Ganyang PKI. Ia pergi ke situ dan 
menghapus tulisan itu sambil berguman: apa saja ini! 

Seorang bocah berpangkat kopral, bermuka manis, menghampiri dan 
menanyai ini-itu. Saya tanyakan apa pangkatnya. Ia menjawab dengan 
pukulan dan tempeleng, kemudian pergi. Kurang lebih dua jam kemudian 
saya lihat Nissan patrol datang dan menurun-nurunkan barang. Beberapa 
contoh ditaruh di atas meja di ruangan tempat kami menggeletak di 
lantai. Saya kenal benda-benda itu: kartotik file saya sendiri, 
dokumentasi potret sejarah, malah juga klise timah yang saya siapkan 
untuk saya pergunakan dalam jangka panjang. Saya jadi mengerti 
perpustakaan dan dokumentasi saya, jerih-payah selama lima belas tahun 
telah dibongkar, 5.000 jilid buku dan beberapa ton koleksi suratkabar. 
Angka-angka itu saya dapatkan dari sarjana perpustakaan yang sekitar 
dua tahun membantu saya. 

Tangkapan-tangkapan baru terus berdatangan. Ada yang sudah tak bisa 
jalan dan dilemparkan ke lantai. Kemudian datang tangkapan yang 
langsung mengenali saya. Ia bertanya mengapa saya berlumuran darah. 
Baru waktu itu saya sadar kemejaku belang-bonteng kena darah sendiri, 
demikian juga celana, yang rupanya teriris batu kali yang dilemparkan. 
Dialah yang bercerita, semua kertas saya diangkuti militer. Massa 
menyerbu dan merampok apa saja yang ada, sampai-sampai mangga yang 
sedang sarat berbuah digoncang buahnya. Tak ada satu cangkir atau 
piring tersisa. Rumah bung tinggal jadi bolongan kosong blong. 

Jangan dikira ada perasaan dendam pada saya; tidak. Justru yang 
teringat adalah satu kalimat dari Njoto, yang A.K.M. juga kenal: 
Tingkat budaya dan peradaban angkatan perang kita cukup rendah, 
memprihatinkan, kita perlu meningkatkannya. Saya juga teringat pada 
kata-kata lain lagi: Kalau kau mendapatkan kebiadaban, jangan beri 
kebiadaban balik, kalau mampu, beri dia keadilan sebagai belasan. 
Dalam tahanan di RTM tahun 1960 saya mendapatkan kata baru dari dunia 
kriminal: brengsek. Sekarang saya dapat kata baru pula: di-aman-kan, 
yang berarti: dianiaya, sama sekali tidak punya sangkut-paut dengan 
aman dan keamanan. Sebelum itu saya punya patokan cadangan bila orang 
bicara denganku: ambil paling banyak 50% dari omongannya sebagai 
benar. Sekarang saya mendapatkan tambahan patokan: Kalau yang berkuasa 
bilang A, itu berarti minus A. Apa boleh buat, pengalaman yang 
mengajarkan. 

Di antara orang kesakitan di kiri dan kanan saya, di mana orang tidak 
bisa dan tidak boleh ditolong, terbayang kembali wartawan Afrika--saya 
sudah tidak ingat dari Mali, Ghana atau Pantai Gading--yang waktu naik 
mobil pertanyakan: Apa Nasakom itu mungkin? Apa itu bukan utopi? Saya 
jawab: di Indonesia diperlukan suatu jalan. Setiap waktu bom waktu 
kolonial bisa meletus. Itu kami tidak kehendaki. Nampaknya Nasakom 
sebagai kenyataan masih dalam pembinaan. Dia bilang: Kalau Nasakom 
gagal? Bukankah itu berarti punahnya pemerintah sipil, karena Nasakom 
tersapu? Jawabku: Kami hanya bisa berusaha. Dia bilang lagi: Kalau 
Nasakom disapu, tidak akan lagi ada kekuatan nasionalis, agama maupun 
komunis! Dialog selanjutnya saya sudah tak ingat. 

Pagi itu-itu diawali kedatangan serombongan wartawan Antara, tanpa 
sepatu, semua lututnya berdarah. Di antaranya paman saya sendiri, R. 
Moedigdo, yang saya tumpangi hampir 3,5 tahun semasa pendudukan 
Jepang. Dia pun tak terkecuali. Kemudian saya dengar, mereka baru 
datang dari tangsi CPM Guntur dan habis dipaksa merangkak di atas 
kerikil jalanan. Menyusul datang power. Orang- orang militer 
melempar-lemparkan tangkapan baru itu dari atas geladak dan terbanting 
ke tanah. Ruangan telah penuh- sesak dengan tangkapan baru, sampai di 
gang-gang. Itu berarti semakin banyak erangan dan rintihan. Di 
antaranya terdapat sejumlah wanita. Sedang gaung dari pers yang 
menyokong militer sudah sejak belum ditangkap, tak henti- hentinya 
menalu gendang untuk membangkitkan emosi rakyat terhadap PKI dan 
organisasi massanya: Gerwani di Lubangbuaya memotongi kemaluan para 
jendral dan melakukan tarian cabul dan semacamnya, tipikal buah 
pikiran orang yang tak pernah mempunyai cita-cita. Bulu kuduk berdiri 
bukan karena tak pernah menduga orang Indonesia bisa membuat kreasi 
begitu kejinya. 

Kemudian datang waktu pemeriksaan. Saya dibawa ke ruang pemeriksaan, 
yang sepanjang jam, siang dan malam diisi oleh raungan dan pekikan. 
Juga dari mulut wanita. Memang ruang yang saya masuki waktu itu tidak 
seriuh biasanya. Alat-alat penyetrum tidak dikerahkan. Di pojokan 
seorang KKO bertampang Arab, hitam, tinggi dan langsing, dingan kaki 
bersepatu bot menginjak kaki telanjang yang diperiksanya. Dan di 
antara jari-jemari pemuda malang itu disisipi batang pensil dan tangan 
itu kemudian diremas si pemeriksa sambil tersenyum dan bertanya: Ada 
apa? Ada apa kok memekik? Di samping pemuda itu adalah saya, diperiksa 
oleh seorang letnan (atau kapten?) bernama Nusirwan Adil. 

Di luar dugaan pemeriksaan terhadap saya tidak disertai penganiayaan 
seperti dideritakan pemuda malang di samping kiri saya. Pemeriksa itu 
tenang dan sopan, dan mungkin cukup terpelajar dan beradab. Ia memulai 
dengan pertanyaan mengapa saya berdarah-darah. 

Jawab: terjatuh. 

Tapi itu bukan termasuk dalam acara pemeriksaan. 

Pertanyaan: Bagaimana pendapat tentang gerakan Untung? 

Jawab: tidak tahu sesuatu tentangnya. 

Pertanyaan: Apa membenarkan gerakan itu? 

Jawab: Kalau mendapat kesempatan mempelajari kenyataan- kenyataannya 
yang authentik mungkin dalam lima tahun sesudahnya saya akan bisa 
menjawab pertanyaan itu. 

Sebelum meneruskan tentang pemeriksaan ini saya sisipkan dulu beberapa 
hal sebelum penangkapan saya. Pertama: sejak semula saya sependapat 
bahwa gerakan Untung, yang kemudian dinamai G-30S/PKI, adalah gerakan 
dalam tubuh angkatan darat sendiri. Pendapat itu tetap bertahan sampai 
sekarang, juga sebelum membaca tulisan Wertheim dalam Journal of 
Contemporary Asia. Berita-berita pengejaran dan pembunuhan semakin 
hari semakin banyak dan menekan. Kedua: seorang perwira intel pernah 
datang berkunjung khusus untuk menyampaikan, bahwa militer akan 
memainkan peranan kucing terhadap PKI sebagai tikus. Tiga: dua 
mahasiswa UI telah dilynch di jalanan raya yang baru dibangun, masih 
lengang, di sekitar kampus. Keempat: pemeriksaan terhadap para 
tangkapan berkisar pada dua hal, pertama keterlibatan dalam peristiwa 
Lubangbuaya, kedua keanggotaan Pemuda Rakyat dan PKI. Kelima: beberapa 
hari sebelum penangkapan seorang pegawai Balai Pustaka mengumumkan 
dalam harian Api Pancasila di Jakarta, bahwa saya adalah tokoh Pemuda 
Rakyat. Karena sebagai pelapor ia menyebutkan diri pegawai Balai 
Pustaka, jadi saya datang menemui direktur BP--waktu itu Hutasuhut, 
kalau saya tidak salah ingat--dan mengajukan protes karena BP 
dipergunakan sebagai benteng untuk menyebarkan informasi yang salah 
tentang saya. Direktur BP menolak protes saya. Pegawai yang menulis 
itu tinggal beberapa puluh langkah dari rumah saya. Dalam peristiwa 
plagiat Hamka ia pernah mengirimkan surat pembelaan untuk Hamka dan 
hanya sebagian daripadanya saya umumkan. 

Dan memang ruangan rumah saya pernah dipinjam untuk pendirian ranting 
Pemuda Rakyat. Tetapi itu bukan satu- satunya. Kalau sore ruangan 
belakang juga menjadi tempat taman kanak-kanak (reportase tentangnya 
pernah ditulis oleh Valentin Ostrovsky, kalau saya tidak meleset 
mengingat). Setiap Kamis malam ruangan depan dipergunakan untuk tempat 
diskusi Grup diskusi Simpat Sembilan. Setiap pertemuan didahului 
dengan pemberitahuan pada kelurahan. Jadi tidak ada sesuatu yang dapat 
dituduhkan illegal. 

Keenam: seseorang menyampaikan pada saya, mungkin juga pada sejumlah 
orang lagi, kalau diperiksa adakan anggota PKI atau ormasnya, akui 
saja ya--tidak peduli benar atau tidak; soalnya mereka tidak 
segan-segan membikin orang jadi invalid seumur hidup untuk menjadi 
tidak berguna bagi dirinya sendiri pun untuk sisa umurnya selanjutnya. 
Dan, tidak semua orang tsb., dapat saya sebut namanya, karena memang 
tidak mampu mengingat--hampir 20 tahun telah liwat. 

Jadi waktu pemeriksa menanyakan apakah saya anggota PKI, saya jawab ya. 

Pertanyaan: Apakah percaya negara ini akan jadi negara komunis? 

Jawab: Tidak dalam 40 tahun ini. 

Sebabnya? 

Faktor geografi dan konservativitas Indonesia. 

Cuma itu sesungguhnya isi pemeriksaan pokok. Tetapi karena selama 
dalam penahanan itu harian Duta Masyarakat memberitakan reportase 
tentang penyerbuan gerombolan itu ke rumah saya dan rumah S. Rukiah 
Kertapati, di mana disebutkan di rumah saya ditemukan buku-buku curian 
dari musium pusat dan di rumah Rukiah setumpuk permata, jadi 
pemeriksaan berpusat pada soal pencurian tsb. Memang saya pernah 
meminjam satu beca majalah, harian dan buku dari musium pusat. Yang 
belum saya kembalikan adalah Door Duisternis to Licht Kartini dan 
harian Medan Prijaji tahun 1911 dan 1912. Kalau arsip itu tersusun 
baik, akan bisa ditemukan, bahwa sumbangan saya ada 10 kali lebih 
banyak dari pada yang masih saya pinjam. 

Dengan demikian pemeriksaan selesai. Benar-tidaknya omongan saya ini 
dapat dicek pada proces verbal, sekiranya masih tersimpan baik pada 
instansi yang berwenang. 

Bila ada selisih, soalnya karena waktunya sudah terlalu lama. 

Mungkin Bung bertanya dari mana saya tahu ada berita dalam Duta 
Masyarakat yang menuduh saya mencuri. Ya, pada suatu pagi muncul 
seorang kapten di ruang tempat serombongan tahanan. Ia langsung 
mengenali saya, sebaliknya saya mengenal dia sebagai sersan di RTM 
tahun 1960. Ia bertubuh tinggi, berkulit langsat dan bibir atasnya 
suwing. Saya tak dapat mengingat namanya. Suatu malam ia kunjungi aku 
di kamar kapalselam (sel isolasi) di RTM itu. Banyak mengobrol, antara 
lain ia bercerita pernah ikut pasukan merah dalam Peristiwa Madiun. 
Pagi itu ternyata ia berpangkat kapten. Langsung ia bertanya di mana 
Sjam. Itu untuk pertama kali saya dengar nama itu. Tapi ia segera 
membatalkan pertanyaanya dengan kata-kata: Ah, Pak Pram sastrawan, 
tentu tidak tahu siapa dia. Ramahnya luarbiasa, bawahannya 
diperintahkannya untuk mengambilkan kopi dan menyediakan veldbed untuk 
saya. Dan hanya perintah pertama yang dilaksanakan. Setelah ia pergi 
seorang sersan gemuk yang terkenal galak, dari Sulawesi, kalau tak 
salah ingat, juga seorang haji, memanggil saya dengan ramahnya dan 
menyuruh saya membaca Duta Masyarakat itu. 

Nah Bung, setelah pemeriksaan satu rombongan dikirim ke CPM Guntur. 
Sebelum pergi saya minta pada Nusyirwan Adil untuk membebaskan adik 
saya, karena baru saja datang ke Indonesia untuk menyiapkan 
disertasinya. Ia luluskan permintaan saya, diketikkan surat 
pembebasan. Sebelum pergi ia saya titipi jam tangan saya, untuk 
dipergunakan belanja istri saya. 

Di Guntur hanya untuk didaftar dan dirampas apa yang ada dalam kantong 
para tangkapan. Sepatu sampai sikatgigi dan ikatpinggang. Waktu itu 
baru saya sadari di dalam kantong saya masih tersimpan honorarium dari 
Res Publika dan pabrik pensil. Semua dirampas dengan alasan: nanti 
dalam tahanan agar tidak dicuri temannya. Dari guntur kami dibawa ke 
Salemba. Tangan tetap di atas tengkuk dan tubuh harus tertekuk, tidak 
boleh berdiri tegak, setinggi para penangkap. Dalam 
pelataran-pelataran penjara itu nama dibaca satu-persatu oleh seorang 
militer. Waktu sampai pada giliran saya ia berhenti dan berseru: Lho, 
Pak Pram, di sini ketemu lagi? Peltu (atau pelda) itu adalah pengawal 
bersepedamotor yang mengawal sebuah sedan biru-tua dalam bulan 
November 1960 dari Peperti Peganggsaan ke RTM Jl. Budi Utomo. Dalam 
sedan itu saya, setelah diminta "diwawancarai" oleh Sudharmono, mayor 
BC Hk. Dan peltu atau pelda di depanku Oktober 1965 itu adalah Rompis. 

Sejak itu berkelanjutan perampasan hak-hak kewarganegaraan dan hak-hak 
sipil saya selama hampir 20 tahun ini. Dan Bung Keith, tidak satu 
orang pun dari kaum manikebuis itu terkena lecet, tidak kehilangan 
satu lembar kertas pun. Sampai sekarang pun mereka masih tetap hidup 
dalam andaian, sekiranya kaum kiri menang. Dari menara andaian itu 
mereka menghalalkan segala: perampasan, penganiayaan, penghinaan, 
pembunuhan. Tetap hidup dalam kulit telur keamanan dan kebersihan, 
suci, anak baik-baik para orangtua, dan anak emas dewa kemenangan. 
Paling tidak sepuluh tahun lamanya saya melakukan kerjapaksa, mereka 
satu jam pun tidak pernah. Nampaknya mereka masih tidak rela melihat 
saya hidup keluar dari kesuraman. Waktu saya baru pulang dari Buru, 
banyak di antaranya yang memperlihatkan sikap manis. Bukan main. 
Tetapi setelah saya menerbitkan BM, wah, kembali muncul keberingasan. 

Tentang A.K.M. sendiri pertama kali saya mengenalnya pada tahun 1946, 
di sebuah hotel di Garut. Ia tidak mengenal saya. Waktu itu saya 
sedang dalam sebuah missi militer. Ia datang ke hotel itu dan 
ngomong-ngomong dengan pemiliknya. Namanya tetap teringat, karena 
waktu itu ia redaktur majalah Gelombang Zaman yang terbit di Garut. 

Pertemuan kedua ialah di Balai Pustaka, waktu ia masih jadi pegawai 
Balai Pustaka yang dikuasai oleh kekuasaan pendudukan Belanda. Setelah 
penyerahan kedaulatan ia jadi sep saya dalam kantor yang sama--ya saya 
sebagai pegawai negeri dengan pengalaman semasa revolusi sama sekali 
tidak diakui, karena semua pegawainya bekas pegawai kekuasaan Belanda. 
Sewaktu ia hidup aman di Australia, ternyata ia masih dalam hidup 
dalam andaian, dan sebagaimana yang lain- lain tetap membiakkan 
pengalaman kecil-mengecil semasa Soekarno untuk jadi gabus apung dalam 
menyudutkan orang- orang semacam saya. Titik tolaknya tetap andaian. 
Semua tidak ada yang mencoba menghadapi saya secara berdepan, dari 
dulu sampai detik saya menulis ini. 

Dalam pada itu yang dirampas dari saya sampai detik ini belum 
dikembalikan. Rumah saya diduduki oleh militer, dari sejak berpangkat 
kapten sampai mayor atau letkol, bahkan bagian belakang disewakan pada 
orang lain. Itu pun hanya rumah kampung, namun punya nilai spiritual 
bagi keluarga dan saya sendiri. Barangkali ada gunanya saya ceritakan. 

Saya mendirikannya pada tahun 1958 bulan-bulan tua. pajak Honoraria 
seorang pengarang adalah 15 persen, langsung dipotong oleh penerbit. 
Waktu saya menyiarkan protes tentang tingginya pajak yang 15 persen, 
tidak lebih dari seminggu kemudian perdana menteri Djuanda 
menaikkannya jadi 20 persen, sama dengan pajak lotre. Maka juga 
pendirian rumah itu melalui ancang-ancang panjang. Kumpul-kumpul dulu 
kayu dari meter kubik pertama hingga sampai sepuluh dst. Saya 
merencanakan rumah berdinding bambu sesuai dengan kekuatan. Sepeda 
motor saya, BSA 500cc.--sepeda motor militer sebenarnya--juga 
dikurbankan. Tiba-tiba mertua lelaki datang dan mengecam: mengapa 
mesti bambu? Itu terlalu mahal biayanya. Menyusul perintah: tembok! 
Ternyata bukan asal perintah. Ia tinggalkan pada saya dua puluh ribu 
rupiah. Kalau sudah ada, kembalikan, katanya lagi. Maka jadilah rumah 
tembok yang terbagus di seluruh gang. Ternyata tidak sampai di situ 
ceritanya. Rekan-rekan yang tidak bisa mengerti, seorang pengarang 
bisa mendirikan rumah, mulai dengan desas-desusnya. Satu pihak 
mengatakan, saya telah kena sogok Rusia. ada yang mengatakan RRT. 
Teman-teman yang dekat mengatakan saya telah kena sogok Amerika. Orang 
tetap tidak percaya seorang pengarang bisa membangun rumah sendiri. 
Mereka lupa, dalam Bukan Pasar Malam telah saya janjikan pada ayah 
saya untuk memperbaiki rumah, dalam tahun pertama saya keluar dari 
penjara Belanda. yang saya lakukan lebih daripada apa yang saya 
janjikan, saya bangun baru, dan pada masanya adalah rumah terbagus di 
seluruh kompleks, sekali pun hanya berdinding kayu jati. (Sekarang 
memang jati lebih mahal dari tembok). 

Kami sempat meninggali rumah kampung itu hanya sampai tahun 1965 atau 
7 tahun. Orang yang tidak berhak justru selama hampir 20 tahun. 
Iseng-iseng pernah saya tanyakan; jawabnya seenaknya: apa bisa 
membuktikan rumah itu bukan pemberian partai? Habis sampai di situ. 
Pada yang lain mendapat jawaban: jual saja rumah itu, separohnya 
berikan pada penghuninya. Dan saya bilang: saya tidak ada prasangka 
orang yang menghuni rumah saya itu dari golongan pelacur. Walhasil 
sampai sekarang tetap begitu saja. 

Baik, kaum manikebuis masih belum puas dengan segala yang saya alami. 
Saya sama sekali tidak punya sedikitpun perasaan dendam. Setiap dan 
semua pengalaman indrawi mau pun jiwai, bukan hanya sekedar modal, 
malah menjadi fondasi bagi seorang pengarang. 

Apa yang dialamai A.K.M. semasa Soekarno masih belum apa-apa 
dibandingkan yang saya alami. Peristiwa Kemayoran? Pada 1958 sepulang 
dari Konferensi Pengarang A- A di Tasykent lewat Tiongkok saya tidak 
diperkenankan lewat Hongkong dan terpaksa lewat Mandalay, Burma. 
Artinya, dengan kesulitan tak terduga. Sampai di Rangoon pihak 
Kedutaan RI tidak mau membantu memecahkan kesulitan saya. Apa boleh 
buat, tidak ada jalan bagi saya daripada mengancam akan memanggil para 
wartawan Rangoon dan Jawatan Imigrasi Burma, memberikan pernyataan, 
bahwa ada kedutaan yang tak mau mengurus warganegaranya yang 
terdampar. Mereka terpaksa mengurus saya sampai tiba di Jakarta. Dari 
Rangoon kemudian datang surat yang menuntut macam- macam. Saya hanya 
menjawab dengan caci-maki dengan tembusan pada menteri luarnegeri, 
waktu itu Dr. Subandrio. Saya harap surat itu masih tersimpan dalam 
arsip. Peristiwa itu terjadi berdekatan dengan hari saya menghadap 
Bung Karno untuk menyerahkan dokumen keputusan Konferensi di samping 
juga bingkisan dari Ketua Dewan Menteri Uzbekistan, Syaraf Rasyidov, 
kepadanya, disaksikan oleh beberapa orang, diantaranya Menteri Hanafi. 
Tak terduga dalam pertemuan itu terjadi sedikit pertikaian dengan Bung 
Karno. Ia memberi saya suatu instruksi dan saya menolak, karena 
sebagai pengarang saya punya porsi kerja sendiri. Pertikaian ini 
kemudian melarut, yang saya anggap wajar, sampai akhirnya atas 
perintah Nasution saya ditahan di RTM, kemudian ke tempat lebih keras 
di Cipinang, karena menentang PP 10. Hampir satu tahun dalam penjara, 
kemudian dilepaskan dalam satu rombongan dan dengan satu nafas dengan 
para pemberontak PRRI-Permesta sebagai hadiah terbebasnya Irian Barat. 
Pada hal tidak lebih dari 3 tahun sebelumnya Nasution itu-itu juga 
memberi saya surat penghargaan no. 0002 untuk bantuan pada angkatan 
perang dalam melawan PRRI di SumBar. 

Penahanan 1960-61 itu merupakan pukulan pahit bagi saya. Bukan saya 
yang melakukan adalah kekuasaan Pemerintah saya sendiri. Juga sama 
sekali tidak ada setitik pun keadilan di dalamnya. Saya merasa hanya 
menuliskan apa yang saya anggap saya ketahui, dan berdasarkan padanya 
pendapat saya sendiri. Dengan nama jelas, lengkap. Alamat saya pun 
jelas, bukan seekor keong yang setiap waktu dapat memindahkan 
rumahnya. Saya membutuhkan pengadilan. Dan itu tidak diberikan kepada 
saya. Dalam isolasi ketat di Cipinang saya kirimkan surat pada Bung 
Karno melalui Ngadino, kemudian mengganti nama jadi Armunanto, kepala 
redaksi Bintang Timur dan anggota DPA. Surat itu bertujuan untuk 
mendapat hukuman yang justified, entah sebagai pengacau, entahlah 
sebagai penipu. Setidak-tidaknya bukan yang seperti sekarang. Ia tidak 
meneruskannya, dengan alasan ada orang lain menyimpan tembusannya. 
Orang itu adalah H.B. Jassin. Saya yakin surat itu masih tersimpan. 

Dapat Bung bandingkan, bahwa andaian kesulitan semasa Soekarno masih 
tidak berarti dengan kenyataan kesulitan yang saya sendiri alami. 

Saya heran, bahwa di dalam halaman 2 A.K.M. menyatakan keheranannya 
mengapa namanya dicoret dari daftar pencalonan Front Nasional. Terasa 
lucu dan naif, selama ia sendiri tidak punya kekuasaan untuk 
menentukannya. Katanya Lekra membakari bukunya? Saya baru tahu dari 
halaman itu. Mungkin Boen S. Oemarjati yang berhak memberi penjelasan. 

Di halaman 3 alinea pertama terdapat kisah yang mengagumkan tentang 
Taslim Ali. Saya sering datang ke tempatnya di gedung perusahaan 
Intrabu. Jadi dalam gambaran saya orang yang "selalu menterornya 
dengan meletakkan pestol di atas meja" -nya itu adalah saya. Pramoedya 
Ananta Toer. Soalnya surat Goenawan Muhammad tertanggal 28 November 
1980 pada Sumartana mengatakan (hlm.3): "Achdiat pernah bercerita, 
bahwa Pram pernah datang ke Balai Pustaka dengan meletakkan pistol di 
meja." Kapan itu terjadi? Pestol siapa? Siapa yang saya temui dan saya 
teror? Kiranya, kalau Goenawan tak berandai- andai, A.K.M. sendiri 
yang berhak menjawab. Dalam alam kemerdekaan nasional memang pernah 
saya bersenjata api. Suatu hari dalam 1958. Bukan pestol, tapi 
parabellum. Tempat: dalam sebuah jeep dalam perjalanan antara Bayah 
dengan Cikotok. Saksi: seorang letnan angkatan darat. Ia membutuhkan 
bantuan saya untuk menyelidiki benar- tidaknya ada boulyon-boulyon 
emas disembunyikan oleh Belanda sebelum meninggalkan Jawa pada 1942 di 
dasar tambang mas Cikotok, dengan kesimpulan, bahwa semua itu omong 
kosong belaka. Mengapa bersenjata? Karena sebelumnya sebuah kendaraan 
umum telah dicegat DI, dibakar. Dan bangkainya masih nongkrong di 
pinggir jalan. Sebagai pengarang saya masih lebih percaya kepada 
kekuatan kata daripada kekuatan peluru yang gaungnya hanya akan 
berlangsung sekian bagian dari menit, bahkan detik. Dan saya pun tidak 
pernah bisa diyakinkan ada orang datang untuk menteror Taslim Ali. Apa 
yang bisa didapatkan dari dia? Sebaiknya A.K.M. menyebut jelas siapa 
nama penteror itu. 

Di halaman 5 tulisan A.K.M. alinea terbawah ditulis bahwa: "di depan 
rumahnya saya sempat menyusukan selembar 10 ribu rupiah ke dalam 
kepalannya. Dia agaknya begitu terharu, sehingga nampak matanya basah 
tergenang," dan "saya tahu Pram tentu butuh duit ketika itu." Memang 
agak janggal menampilkan saya saya semacam itu. Pada waktu itu saya 
tidak dapat dikatakan dalam kesulitan keuangan. Segera setelah pulang 
dari Buru sejumlah bekas tahanan Buru datang pada saya minta dibantu 
memecahkan kesulitan mereka mencari penghidupan. Memang pihak gereja 
telah banyak membantu, dan saya menghormati dan menghargai jasanya 
pada mereka dengan tulus. Tetapi selama status dan namanya bantuan 
barang tentu tidak mencukupi kebutuhan apalagi untuk keluarganya. Jadi 
saya dirikan sebuah PT pemborong bangunan, sebuah usaha yang bisa 
menampung banyak tenaga. Pada waktu A.K.M. datang ke rumah telah 36 
orang ditampung, sebagian berkeluarga. Tidak kurang dari 5 rumah 
dikerjakan, di antara 2 rumah mewah. Ada di antara mereka menumpang 
ada saya. Usaha ini telah dapat memberi hidup (terakhir) 60 orang 
dengan keluarganya. Tapi kesulitan itu? Beberapa kali datang intel, 
yang dengan lisan mengatakan, rumah saya jadi tempat berkumpul tapol. 
Beberapa orang dari kantor kotapraja memberi ultimatum untuk 
menyediakan uang sekian ratus ribu dalam sekian hari. Seseorang datang 
dan mengibar-ngibarkan kartu identitasnya sebagai intel Hankam. 
Seorang datang mengaku sebagai pegawai sospol Depdag dengan tambahan 
keterangan, teman-temannya orang Batak banyak, dan orang tidak 
selamanya waspada. Tak akan saya katakan apa maksud kedatangan mereka. 
Itu yang datang dari luar. Kesulitan dari dalam pun tak kalah 
banyaknya. Teman-teman bekas tapol rata-rata sudah surut tenaganya 
karena tua. Mereka belum terbiasa dengan teknik baru pembangunan rumah 
sekarang. Mereka tidak terbiasa dengan material baru dan 
pengerjaannya. Di samping itu kerjapaksa berbelas tahun tanpa imbalan 
tanpa penghargaan, setiap hari terancam hukuman, telah berhasil 
merusakkan mental sebagian dari mereka. Dalam pekerjaan yang mereka 
hadapi mereka tidak berbekal ketrampilan vak. Sedang impian berbelas 
tahun dalam posisinya sebagai budak-budak Firaun adalah terlalu indah. 
Seorang yang di Buru mempunyai setiakawan begitu tinggi dan diangkat 
jadi kepala kerja, kemudian lari membawa uang, dan bukan sedikit. 
Seorang yang relatif masih muda, suatu malam datang dengan membawa 
truk dan mengangkuti material bangunan yang telah tersedia dan 
menjualnya di tempat lain dengan harga rendah untuk dirinya sendiri. 
Seorang lagi yang juga tergolong muda, sama sekali tanpa ketrampilan 
tukang, mendadak mengorganisasi pemogokan dengan tuntutan berlipat 
dari hasil kerjanya. Pick-up Luv Chevrolet, sumbangan teman- teman 
Savitri, dalam 3 bulan sudah berban gundul dan penyok-penyok. 

Pukulan lain yang tak kurang menyulitkan datang. Memang sudah 
diselesaikan sekitar 8 rumah dengan keadaan seperti itu. Kemudian dua 
di antara yang dibangunkan rumahnya tidak mau melunasi kewajibannya, 
mengetahui kedudukan hukum kami lemah. Berkali-kali Savitri minta 
pertanggungjawaban atas bantuan teman-temannya yang diberikan. Saya 
tak mampu lakukan itu. Tidak lain dari saya sendiri yang akan merasa 
malu, dan semua harus saya telan sendiri. Akhirnya saya perintahkan 
pembubaran PT itu tanpa pernah memberikan pertanggungjawaban pada 
teman- teman Savitri. 

Nah Bung, seperti itu situasi waktu terima selembar sepuluh ribu itu, 
yang sama sekali tidak pernah saya kira akan dipergunakan oleh A.K.M. 
untuk memperindah gambaran tentang dirinya. Semua kebaikan tidak akan 
sia-sia memang bila tidak berpamrih. Dengan pamrih pun tentu saja 
tidak mengapa, sejauh setiap tindak manusia yang sadar pasti mempunyai 
motif. Tetapi bila pemberian dipergunakan sebagai investasi, yang 
setiap waktu dikutip ribanya, sekalipun hanya riba moril, itu memang 
betul-betul investasi, bukan pemberian. Dan siapa di dunia ini tidak 
pernah menerima? Waktu saya baru datang dari Buru dan sejumlah orang 
yang datang hanya untuk bersumbang. Jumlahnya dari 60 sampai 100 ribu, 
di antaranya 3 mesin tulis, yang tiga-tiganya langsung diteruskan 
untuk tapol yang lebih memerlukan. Demikian juga halnya dengan uang 
pemberian. Saya pribadi praktis tidak ada uang dalam kantong. Itu akan 
kelihatan bila berada di luar rumah. Di Buru pun ada sejumlah pemberi, 
dari lingkungan dalam dan luar tapol, dari satu sampai sepuluh ribu. 
Dalam keadaan sulit di Buru pun orang normal tidak bisa tinggal jadi 
penerima saja. Terutama pihak gereja Katholik pernah memberi keperluan 
tulis-menulis saya setiap bulan. Bahkan pernah saya terima 2 kali 
berturut satu kardus besar berisi kacamata, dan pakaian untuk saya 
pribadi. (Sampai sekarang saya simpan.) Maksud saya hanya untuk 
menerangkan, pada bangsa-bangsa terkebelakang, atau menurut redaksi 
baru bangsa-bangsa yang berkembang, memberi adalah keluarbiasaan dan 
menerima adalah kebiasaan yang perlu dinyatakan. 

Jangan dikira saya menulis demikian dengan emosi. Tidak. Suatu dialog 
bagi saya tetap lebih menyenangkan daripada monolog. Setidak-tidaknya 
dialog adalah pencerminan jiwa demokratis. Tetapi ucapan all forgiven 
and forgotten atau we've forgiven but not forgotten, benar- benar 
produk megalomaniak yang disebabkan mendadak bisa melesat dari 
kompleks inferiornya, bukan karena kekuatan dalam, tapi luar dirinya. 

Tentang Pancasila di hlm. 6, saya takkan banyak bicara kecuali 
menyarankan untuk membuka-buka kembali pers Indonesia semasa Soekarno, 
khususnya sekitar sebab mengapa presiden RI membubarkan konstituante 
itu. Golongan mana yang menolak dan mana yang menerima Pancasila 
sebelum dapat interpretasi atau pun revisi, formal ataupun non- formal. 

Dalam hubungan ini saya teringat pada ucapan Nyoto, kalau tidak salah 
di alun-alun Klaten pada tahun 1964, bahwa nampak ada kecenderungan 
pada suatu golongan masyarakat (saya takkan mungkin mampu mereproduksi 
redaksinya) yang membaca kalimat-kalimat Pancasila menjadi: Satu, 
Ketuhanan yang Maha Esa; Dua, Ketuhanan yang Maha Esa; Tiga, Ketuhanan 
yang Maha Esa; Empat, Ketuhanan yang Maha Esa; dan Lima, Ketuhanan 
yang Maha Esa. Dia tidak dalam keadaan bergurau. 

Selama 14 tahun dalam tahanan ucapan Nyoto bukan saja menjadi 
kebenaran, lebih dari itu. Dakwah-dakwah yang diberikan, atau lebih 
tepatnya dengan istilah orde baru santiaji, orang tidak menyinggung 
sila-sila lain sesudah sila pertama, kalau menyinggung pun hanya 
sekedar penyumbat botol kosong: beragama dan tidak beragama berarti 
sembahyang. Tidak bersembahyang berarti tidak pancasilais, bisa juga 
anti-pancasila. Ya, buntut panjang itu rupanya diperlukan untuk 
menterjemahkan alam pikiran formalis Pribumi Indonesia, tidak mampu 
membebaskan diri dari lambang-lambang, upacara, hari peringatan, 
pangkat dan tanda-tandanya--dan bagi suku Jawa cukup lengkap di 
dideretkan dalam sastra wayang. 

Berdasarkan pengalaman sendiri saya dapat katakan: Revolusi Indonesia 
tidak digerakkan oleh Pancasila; ia digerakkan oleh patriotisme dan 
nasionalisme. Baru pada 1946 saya pernah mendapat tugas untuk memberi 
penerangan tentang Pancasila dan PBB kepada pasukan. Selanjutnya tetap 
tidak ada pertautan antara Pancasila dengan Revolusi. 

Saya menghormati pandangan A.K.M. tentang Pancasila yang ia yakini, 
sekali pun dengan Pancasila itu juga orang- orang sejenis kami 
di-buru-kan sampai 10 tahun, dan A.K.M. tidak pernah melakukan sesuatu 
protes. Dan pertanyaan kemudian, apakah ia tetap berpandangan 
demikian--artinya tak perlu melaksanakannya dalam praktek--pada waktu 
kepentingan dan keselamatan jiwanya terancam? Bicara di lingkungan 
aman memang lebih mudah untuk siapapun, dan: tanpa pembuktian. 

Dalam hubungan Pancasila dengan demokrasi barat di hlm. 7 sebagai 
pesan A.K.M. pada rekan-rekannya sarjana Australia saya mempunyai kisah. 

Pada 1984, Mr. Moh. Roem terkena serangan jantung dan dirawat di RSCM. 
Seorang dokter menjemput saya, mengatakan, Pak Roem menginginkan 
kedatangan saya. Saya tak pernah mengkaji apakah itu keinginan Pak 
Roem atau ambisi si dokter itu saja. Langsung saya berangkat bersama 
dengannya. Di ruang itu Pak Roem tidur dalam keadaan masih dihubungkan 
pada alat pengontrol jantung. Penjemput saya langsung menemani perawat 
sehingga hanya kami berdua di situ tanpa saksi. Menghadapi orang dalam 
keadaan gawat tentu saja saya tidak bicara apa-apa. hanya beliau yang 
bicara sampai lelah, sebagai pertanda saya harus mengundurkan diri 
untuk menghemat tenaga yang beliau perlukan sendiri. Terlalu banyak 
yang disampaikannya pada saya untuk orang dalam keadaan gawat seperti 
itu. Satu hal yang berhubungan dengan Pancasila dan demokrasi Barat, 
dan beliau sebagai ahli hukum, adalah: 50 + 1? Ya, biar begitu perlu 
dipertimbangkan dengan adil, tidak seperti selama ini dinilai. Dalam 
sejarah kita telah dibuktikan, bahwa kesatuan Indonesia terwujud hanya 
karena demokrasi parlementer Barat. 

Nah, Bung Keith, inti persoalan dengan kaum manikebu cukup jelas: saya 
menggunakan hak saya sebagai warganegara Indonesia, hak yang juga ada 
pada kaum manikebu. Omong kosong bila dikatakan pada waktu itu mereka 
tak punya media untuk menerbitkan sanggahan. Waktu sekarang, waktu 
secara formal hak sanggah melalui mass media tidak ada, saya tetap 
menyanggah dengan berbagai cara yang mungkin, kalau memang ada yang 
perlu disanggah. Sedang ucapan Pak Roem tsb., ternyata adalah pesan 
politik terakhir. Beberapa minggu kemudian beliau meninggal dunia. 

Saya belum selesai. Masih ada satu hal yang perlu disampaikan, hanya 
di luar hubungan dengan surat terbuka Achdiat K. Mihardja. 

Tak lama setelah pertemuan kita terakhir saya menerima surat dari 
M.L., yang intinya tepat suatu jawaban terhadap saya. Tentu saja saya 
mendapat kesan kuat, pembicaraan kita Bung teruskan padanya. Terima 
kasih, bahwa hal-hal yang tidak jelas sudah dibikin terang olehnya. 

Untuk tidak keliru membikin estimate tentang saya dalam persoalan 
khusus ataupun umum ada manfaatnya saya sampaikan bahwa saya 
menyetujui kehidupan bipoler. Saya membenarkan adanya dua superpower, 
bukan saja sebagai kenyataan, juga sebagai pernyataan makro nurani 
politik ummat manusia. Kalau hanya ada satu superpower akibatnya 
seluruh dunia akan jadi bebeknya. Dua superpower mewakili kekuatan ya 
dan kekuatan tidak, kekuasaan dan opposisi. Dalam tingkat nasional 
saya menyetujui kehidupan bipoler. Ada kekuasaan ada opposisi. Kalau 
tidak, rakyat akan jadi bebek pengambang, dengan kepribadian tidak 
berkembang. Demokrasi dengan opposisi adalah juga pernyataan makro 
nurani politik nasional. Dia adalah juga pencerminan mikro nurani 
pribadi manusia, yang tindakannya ditentukan oleh ya atau tidak. Hewan 
dengan serba naluri tak memerlukan nurani. Ia tak mengenal ya ataupun 
tidak. 

Semoga surat kelewat panjang ini--lebih tepat usaha pendokumentasian 
diri sendiri--ada manfaatnya. Saya tidak ada keberatan bila diperbanyak. 

Salam pada semua yang saya kenal, juga pada M.L. dan Savitri yang 
pernah saya kecewakan. 

Belakangan ini kesehatan saya agak membaik. Soalnya saya menggunakan 
ramuan tradisional yang ternyata mengagumkan. Dengan pengamatan 
melalui tes urine dengan benedict kadar gula yang positif dalam 24 jam 
dapat menjadi negatif, yang tidak dapat saya peroleh melalui sport dan 
kerja badan selama 2 minggu. 

Salam hangat untuk Bung sendiri dan keluarga. 

Pram,









Source: http://old.nabble.com

No comments:

Post a Comment