Saturday, November 24, 2012

Surat Terbuka Pramoedya Ananta Toer kepada Keith Foulcher

Jakarta, 5 Maret 1985 

Salam, 

Surat 26 Februari 1985 saya terima kemarin, juga surat terbuka Achdiat 
K. Mihardja untuk teman-teman (sarjana) Australia yang dilampirkan. 
Terimakasih. Lampiran itu memang mengagetkan, apalagi 
menyangkut-nyangkut diri saya, dan tetap dalam kesatuan semangat kaum 
manikebuis pada taraf sekarang: membela diri dan membela diri tanpa 
ada serangan sambil merintihkan kesakitannya masa lalu, yang 
sebenarnya lecet pun mereka tidak menderita sedikit pun. Total jendral 
dari semua yang dialami oleh kaum manikebuis dalam periode terganggu 
kesenangannya, belum lagi mengimbangi penganiayaan, penindasan, 
penghinaan, perampasan dan perampokan yang dialami oleh satu orang 
Pram. Setelah mereka berhasil ikut mendirikan rezim militer, dengan 
meminjam kata-kata dalam surat terbuka tsb.: "All forgotten and 
forgiven" dan revisiannya: "We've forgiven but not forgotten." Saya 
hanya bisa mengelus dada. Kemunafikan dan keangkuhan dalam paduan yang 
tepat, seimbang dengan kekecilan nyalinya dalam masa ketakutan. Dan 
Bung sendiri tahu, perkembangan sosial- budaya-politik--di sini 
Indonesia--bukan semata-mata ulah perorangan, lebih banyak satu 
prosedur nasional dalam mendapatkan identitas nasional dan mengisi 
kemerdekaan. Tak seorang pun di antara para manikebuis pernah 
menyatakan simpati--jangan bayangkan protes--pada lawannya yang 
dibunuhi, kias atau pun harfiah. Sampai sekarang. Misalnya terhadap 
seniman nasional Trubus. Japo[?] Lampong. Apalagi seniman daerah yang 
tak masuk hitungan mereka. Di mana mereka sekarang. Di mana itu 
pengarang lagu Genjer-genjer? Soekarno mengatakan: Yo sanak, yo 
kadang, yen mati m[?a]lu kelangan. Yang terjadi adalah-- masih 
menggunakan suasana Jawa: tego larane, tego patine.